Tulisan ini merupakan tulisan lama yang dipublikasikan melalui social blog di http://isnanto.multiply.com. sayangnya layanan Multiply ditutup per Desember 2012, padahal penggunanya banyak dan sangat berkesan dengan layanan Myltiply. Karena MP akan menghapus semua konten maka sebagian posting yang terdapat pada social blog Multiply di pindahkan ke blog ini. Meskipun artikel ini dapat dipindahkan namun sayang catatan diskusi tidak dapat dipindahkan ke blogger. Semoga masih bermanfaat. |
Sutradara : Hanung Bramantiyo
Tayang Perdana : 19 Desember 2007
Satu hari menjelang tayangan perdana film Ayat-Ayat Cinta ini saya mendapat email dari seorang teman, semoga bisa membawa hikmah.....
Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama. Itulah kenapa ibuku dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu: Islam. Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum yang menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari sekedar petuah-petuah yang membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih, kadang berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara menghadap kamera. Membuat dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang olehku sebuah film agama.
Aku terjun membuat film Cinta: Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap yakin bahwa suatu saat akan datang masa aku membuat film tentang agama.
Alhamdulillah, benar. MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat Cinta (AAC).
'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku
'Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk indonesia 80 persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya minta 1 persen dari 80 persen masak tidak bisa.'
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton. dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya 10 milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar.
Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.
Wallohu ... Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo, aku menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku mencium bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki roman muka bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka saat bersujud diatas sajadah buluk. Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa Kairo, tetapi dibalik bibir pecah itu terlantun dzikir panjang menyebut: Alloh ... Alloh ...
Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan murid-muridnya. 'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al quran di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan bacaan novel. Allohu Akbar ... Allohu Akbar. Inikah caramu membuatku dekat dengan agamaku, Ibu?
Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam sangat eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti semua itu. Orang-orang Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa daripada ke Kairo.
'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.
Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca buku-buku tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku sangat hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang tertulis dalam novel dengan indah pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah film yang lembut, yang indah, yang suci tergambar di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya.
Namun semua impianku itu tidak begitu saja mudah diwujudkan.
Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar, halangan pertama datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan, sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang sekali novel sebagus ini akan difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel yang di filmkan hasilnya bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'
Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hati-hati sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya semata-mata ganteng dan 'menjual'. Karena itu kami menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat kami.
Sebelum aku melakukan casting, aku berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh Fahri. Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren. Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak diantara mereka sudah menganggap 'Film' adalah produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara mereka tidak mau ikut casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan membuat film, menggambar manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar yang kita buat harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita dengan cambuk api.
Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting adalah pemain-pemain terkenal. Tapi diantara mereka banyak terjebak pada tuntutan atas 'Kesucian Fahri'. Lalu ditengah keputusasaan kami datang seorang lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng). Sering kita lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng. Tetapi lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun santun. Ketika berucap Alloh, dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih seperti ustadz. Pada saat dia sholat aku melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya mata yang didalamnya mengandung semangat belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik. Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang main sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi Nuril sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian di kalangan pembaca fanatik AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril sebelumnya menampilkan Fedi ciuman dengan perempuan bukan muhrim. Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat dengan Islam. Belajar kembali tentang Islam. Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku tentang Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini setelah memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu besar mempengaruhi keimanan seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih Ibu.
Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat untuk mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami melakukan riset disana, sangat mengagetkan. Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya. Aku mengcasting seorang perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai Aisha. Tidak hanya cantik, tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda lebih pas sebagai kakaknya daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi. Pada saat kami sejajarkan, sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan, tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak. Alias belum matang. Kami bingung dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja.
Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah. Pak Din Syamsudin berpesan kalau bisa pemain Aisha kesehariannya ber jilbab. Lihatlah siapa artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata. Dia sangat cantik dan bermain bagus. Dangat cocok pula berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim. Padahal Nadine sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi panjang dengan kang abik soal itu. Aku bilang padanya ...
'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh seorang muslim, sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen. Ini akan memperlihatkan sikap toleransi dan demokratisasi dalam Islam seperti di India.'
Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk jangan bertaruh terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan India. Di India, masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat kedewasaan dalam toleransi, sementara di Indonesia belum. Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan Carrisa Putri sebagai Maria.
Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya. Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter ketika berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki beban berat. Sementara Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna. Aku frustasi sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang, Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr film AAC menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film ini ...
Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai ...
Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!!
Begitulah yang aku dapatkan di film ini. Film ini tidak hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini mampu dan sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan ... cinta. Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah memberikan aku jalan menuju kedewasaan. Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku menyutradarai film ini, dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang telah berpesan untuk membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau berpesan begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu dekat dengan Islam ...
La haula wa kuwwata illa billahi ...
Oleh : Hanung Bramantiyo