25 May 2008

Ternyata Tubuhku (Mulai) Rapuh......

Lama rasanya aku tidak berpergian jauh keluar kota, bahkan ke jogjakarta sekalipun. Sebuah kota yang tidak asing untuk siapapun di tanah air ini, padahal dahulu hampir setiap dua pekan aku mengunjungi kota ini setelah sempat tinggal selama beberapa tahun di jogja, hingga akhirnya rela atau tidak rela aku benar-benar harus keluar dari kota yang cukup menyimpan banyak kenangan buatku, sebuah kota perjuangan, sebuah kota pengembangan diri, sebuah kota wisata, belajar dan berkarya.

Lama rasanya aku tidak berpergian jauh keluar kota, bahkan ke jogjakarta sekalipun. Sebuah kota yang tidak asing untuk siapapun di tanah air ini, padahal dahulu hampir setiap dua pekan aku mengunjungi kota ini setelah sempat tinggal selama beberapa tahun di jogja, hingga akhirnya rela atau tidak rela aku benar-benar harus keluar dari kota yang cukup menyimpan banyak kenangan buatku, sebuah kota perjuangan, sebuah kota pengembangan diri, sebuah kota wisata, belajar dan berkarya.

Diakhir hari kerja yang sudah cukup melelahkan aku segera mengurus surat-surat tugas yang diperlukan. Memang tugas keluar kota ini sangat mendadak, sehingga pengurusan suratnyapun terburu-buru, tapi Alhamdulillah dapat selesai jam 14.50, terlambat memang sebab harapan semula aku sudah akan bisa berangkat jam 14.00 sehingga tiba di jogja tidak terlalu malam. walau kenyataanya bis baru berangkat sektar jam 16.30.

Bis yang membawaku ini adalah bis dari perusahaan yang dulu biasa aku gunakan karena memang untuk bis PATAS hanya ada dua operator, dan bis Raharja inilah yang paling banyak. Bis saat ini sudah lebih baik dari dulu, AC lebih lembut tidak lagi menyembur seperti enam bulan yang lalu sehingga tidak terlalu dingin. Aku mulai menata hati dan pikiranku agar bisa lebih santai dan beristirahat, seperti biasanya aku menjadikan masa di perjalanan sebagai waktu beristriahat, karena seperti biasa sampai di jogja pastilah aku tidak bisa langsung beristirahat, padahal hari inipun sudah cukup melelahkan.

Satu jam berselang dalam perjalanan aku mulai merasakan sakit pada perut, melilit. Aku mulai khawatir dengan sakitku ini, biasanya sakit seperti ini efek dari masuk angin. Dulu aku tidak pernah masuk angin dalam perjalanan, setidaknya sampai merasa sakit melilit seprti ini. bahkan perjalanan empat hari pun masih sanggung dengan waktu istirahat hanya diperjalanan sedangkan sisanya penuh dengan aktifitas. Saya lebih khawatir lagi biasanya setelah mencoba mengatur nafas, relaksasi dan sebagainya ujungnya adalah kamar kecil alias toilet atau paling tidak buang angin. Padahal dalam bis tidak ada toilet.

Bagiku ini adalah sebuah kemunduran yang cukup drastis pada daya tahan tubuh. Aku bandingkan dengan keadaan beberapa tahun lalu, sekitar 2 atau 3 tahun bahkan 1 tahun kebelakang. kebetulan aku sering bepergian ke beberapa kota sekaligus dan masih dengan identitasku, hanya menjadikan masa diperjalanan sebagai masa istirahat. Saat itu tidak sedikitpun sakit atau masuk angin bahkan merasa lelah. Tapi kini hanya perjalanan pendek pun sudah mulai tidak tahan.

Apa sih sebenarnya yang sangat berpengaruh dalam penurunan daya tahan tubuh?, pola makan kah?, keseimbangan aktifitas dan istirahatkah?. Tentu aku mengakui bahwa seiring dengan bertambahnya usia, menurun juga kemampuan daya tahan tubuh. Tapi waktu yang terlewati terlalu dengan penurunan daya tahan tubuh ini terlalu tinggi untuk dibuat skala.

Kiat Meringankan Beban Takdir

“Pedihnya bencana menjadi ringan, manakala anda mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang memberi cobaan bagimu. Dzat Yang memnghadapkan takdir-takdir padamu adalah Dia yang mengembalikan padamu agar ada kebaikan ikhtiar darimu.”.

Allah Ta’ala Maha Indah sifatNya, Mulia tindakanNya,
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary

“Pedihnya bencana menjadi ringan, manakala anda mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang memberi cobaan bagimu. Dzat Yang memnghadapkan takdir-takdir padamu adalah Dia yang mengembalikan padamu agar ada kebaikan ikhtiar darimu.”.

Allah Ta’ala Maha Indah sifatNya, Mulia tindakanNya, sama sekali tidak bertujuan mencederai hambaNya, kecuali demi kemashlahatan si hamba itu sendiri, untuk meraih anugerah dan keutamaan dariNya. Bukan untuk menyiksa mereka.

Allah Ta’ala telah berfirman kepada NabiNya, “Bersabarlah pada hukum Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu ada dalam penglihatan Kami.” (Ath-Thuur 48), sebagaimana Allah Ta’ala mengambalikan padamu apa yang engkau suka, maka bersabarlah terhadap apa yang ditakdirkan padamu.

Mayoritas orang merasa pedih dengan takdir yang menderanya, semata karena belum faham, bahwa semua itu adalah caraNya menguji mereka. Ujian itu dari Allah jua. Ujian tentu demi peningkatan derajat, dan sekaligus kesiapan ikhtiar yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga anugerah dan keutamaan dari Allah Ta’ala diterima dengan jiwa yang benar.

Inilah perlunya ridlo, sabar dan pasrah jiwa kepadaNya dalam situai dan kondisi apa pun.
Imam Al-Junayd al-Baghdady pernah mengisahkan:
“Pada suatu malam aku tidur di dekat Sary as-Saqathy ra (paman dan sekaligus gurunya), lalu sary membangunkan aku.

“Hai Junaid, aku sepertinya sedang berada di hadapan Allah, dan Allah berfirman padaku, “Hai Sary, aku telah menciptakan makhluk dan semua makhluk itu mengaku telah mencintaiKu. Lantas Aku ciptakan dunia, tiba-tiba 90% dari semua itu lari dariKu dan tersisa 10% saja, Kemudian aku ciptakan syurga, ternyata (yang 10%) itu pun lari dariKu (menuju syurga), hingga tersisa 1% saja. Lantas pada yang tersisa itu Aku berikan sedikit saja cobaan, rupanya mereka pun lari dariKu, tinggal 0,99%. Aku katakan kepada yang tersisa yang masih bersamaKu itu:
“Dunia bukan kalian kehendaki. Syurga juga bukan yang kalian inginkan. Neraka juga bukan membuatmu lari. Lalu apa mau kalian ini?”

“Engkau Maha Tahu apa yang kami mau…” kata mereka.
“Bila Aku memberikan cobaan sejumlah nafas kalian yang tidak bisa dipikul oleh bukit-bukit dan lembah jurang, apakah kalian bersabar?” tanyaKu.

“Bila Engkau adalah Yang Memberikan cobaan, lakukanlah sekehendakMu….” Kata mereka yang tersisa.
“Sungguh mereka kitu adalah benar-benar hamba-hambaKu …”
Karena itu Ibnu Thaillah as-Sakandary melanjutkan:

“Siapa yang menyangka lepasnya KeMaha LembutanNya dari takdirNya (yang keras), sesungguhnya karena sangkaan itu muncul dari piciknya pandangan.”

Seringkali ketika cobaan tiba, orang mengeluhkan, “Wah, Allah tidak sayang lagi padaku…Allah tidak lagi berlemah lembut kepadaku…mungkin karena dosaku, sehingga siksaNya menimpaku, hingga aku kehilangan Maha LembutNya…dsb…”
Kalimat dan keluhan demikian karena melihat pada kerasnya dan wujudnya takdir. Padahal pedih dan keras itu hanya bungkus atas Kelembutan Ilahi, demi Cinta dan KasihNya pada sang hamba. Sebab, tanpa cekaman keras itu sang hamba tidak sadar, tidak bangkit kepadaNya dan tidak tergugah untuk terus bersamaNya.

Di sinilah perlunya Husnudzon kepadaNya, karena justru dengan Husnudzon kepada Allah itu segela derita terbebaskan, segala kegembiraan tumpah padanya, dan segala kemerdekaan jiwa tumbuh berkembang bagai ranum bunga.

Secara psikhologis, bagi yang mengalami cobaan terasa berat untuk memahami kelembutan Ilahi dibalik cobaan itu. Tidak jarang yang justru protes kepada Allah, protes pada kenyataan-kenyataan, protes pada diri sendiri. Inilah yang membuat mereka sulit untuk menghayati makna cobaan.

Namun jika mereka bisa membuka pintu sabar dan gerbang ridlo, pemahaman akan KeMaha Lembutan Ilahi dibalik semua itu, pasti muncul, bahkan akan tumbuh rasa syukur dibalik semua itu.

dari : sufi